Masih dengan soundtrack yang sama, gue mencoba untuk mengingat kembali kejadian hari ini.
Siang tadi, di perjalanan pulang setelah kondangan ada kecelakaan. Melihat 2 mobil ambulans, gue yakin kalau itu kecelakaan yang cukup parah.
Singkat cerita, gue berhenti di pinggir jalan, tanya sama orang-orang, lalu ikut melihat korban kecelakaan tadi dari dekat. Bukan, gue bukan mau ngeribetin atau bikin jalanan tambah macet. Gue cuma mau memastikan apakah gue kenal dengan si korban atau tidak.
Berhubung tidak ada korban yang gue kenal, daripada bikin ribet, gue pun melanjutkan perjalanan pulang.
Belum jauh dari TKP, suara sirine mulai terdengar. Gue sudah menyalakan lampu sein kiri, dengan harapan kendaraan di belakang gue sadar kalau kami seharusnya menyingkir untuk memberi sedikit ruang agar ambulans tersebut bisa lewat.
Hasilnya? Nihil.
Dengan susah payah, akhirnya ambulans tadi berhasil mendahului gue. Tapi ternyata, kendaraan di depan gue pun masih tetap dengan posisinya (tidak mau menepi/memperlambat kendaraannya).
Hey, apa perlu semua mobil ambulans diganti truk gandeng, agar pengguna jalan lainnya mau minggir?
Apa perlu si pasien yang tubuhnya dipenuhi darah ditaruh di atap ambulans, agar pengguna jalan lainnya tahu betapa parah kondisinya?
Ah, semahal itukah kepedulian kalian?
Sesampainya di rumah, gue langsung tidur. Di tengah mimpi indah, adik gue, si Jenong, merengek minta diantar renang.
Btw, sekarang di Parung Panjang ada kolam renang yang dibuka untuk umum, di depan PERUM I tepatnya. Sederhana & jauh dari kesan mewah memang, tapi itu sudah cukup untuk membuat si Jenong anteng bermain air selama 2 jam.
Gue yang masih ngantuk, akhirnya cuma duduk sambil merokok di salah satu sudut kolam renang tersebut. Tenang, adik gue yang berumur 7 tahun ini terlalu pintar untuk bisa dilepas begitu saja di sana. Dia sudah tahu mana area yang boleh dia acak-acak & mana area yang tidak boleh didatangi.
Mungkin cuma gue yang melamun karena meratapi nasib, karena di sana banyak orang, lebih tepatnya banyak anak kecil. Anak kecil yang sedang belajar berenang, atau hanya bermain air. Entahlah.
Btw, hey, bisa membayangkan bagaimana lucunya anak-anak kecil yang sedang belajar berenang? ^^
Akhirnya lamunan gue dikejutkan oleh seorang anak kecil. Lucu & cantik dengan pakaian renang lengkap + kacamatanya, dia memulai pembicaraan;
S: Sarah.
G: Gue.
S: "Itu awannya bentuknya apa?"
G: "Eh? Aku gak tahu, kamu tahu?"
S: "Itu gajah. Bisa lihat gak?'
G: *Mulai risih* "Nggak."
S: "Itu loooh, ituuu! Payah, ah."
G: "Et. Nggak lihat.. Oy, kenalan dulu dong, aku Wenk, nama kamu siapa?"
S: "Kok namanya aneh sih. Nama aku Sarah. Bagus kan nama aku?"
Gue: *Dih! Songong nih bocah* "Iya, bagus. Rumah kamu di mana? Terus ke sini sama siapa?"
S: "Sssttt, diem yah. Aku tuh sebenarnya gak suka tinggal di sini, rumah aku banyak tikusnya."
G: "Hahaha. Emang sebelumnya tinggal di mana?"
S: "Jakarta".
G: "Oh. Kok pindah ke Parung?"
S: "Itu...... Aku ikut mama. Mama kan udah pisah sama papa."
Selanjutnya, gue tahu siapa yang sedang gue ajak bicara. Seorang anak umur 8 tahun, kelas 3 SD, dan dia hidup bersama mamanya yang sudah berpisah dengan papanya.
G: "Oy, kamu punya kakak/adik?"
S: "Punya, 2."
G: "Mana? Ikut ke sini gak? Cewek apa cowok?"
S: "Cewek semua. Aku benci sama cowok."
G: "Lah, kok gitu?"
S: "Soalnya cowok suka mukul..."
Sekali lagi, anak ini berumur 8 tahun, dan kayaknya gue tahu siapa yang dia bilang/maksud suka mukul. Mungkin, dia mengganti sebutan papa dengan cowok. Mungkin.
Kalau emang benar papanya, gue pribadi sih pengennya dia bilang, "Soalnya papa suka mukul...". Bukannya apa-apa, gue cuma gak mau nih bocah menyamakan papanya yang (mungkin) brengsek dengan cowok lainnya.
Kenapa gue bilang brengsek?
Hei, sebutan apa lagi yang pantas disandang oleh suami yang memukul istrinya, sampai membuat 'cacat' hati anaknya? Sampai sang anak perempuan benci dan gak mau punya adik cowok?
Gue sih cuma mendengar sambil beberapa kali nyeletuk ketika dia kehabisan kata-kata. Ah, seorang anak gadis, yang usianya hanya setahun lebih tua dari si Jenong, dengan santainya membicarakan semua itu ke gue, orang yang baru ditemuinya. Absurd? Iya.
Mungkin, setelah emak & babeh gue, orang terkuat di dunia ini adalah mereka yang harus menerima kenyataan, yang di mana dia sendiri belum sanggup untuk menopangnya. Termasuk, Sarah.
G: "Hei, om kan cowok. Kamu gak benci?"
S: "Benci, kok. Tadi kan aku cuma pengen nanya bentuk awan yang itu." *Nunjuk ke langit sambil berlalu pergi."
*Kampret* -_________-'