Minggu, 03 Februari 2013

Sarah.

Masih dengan soundtrack yang sama, gue mencoba untuk mengingat kembali kejadian hari ini.

Siang tadi, di perjalanan pulang setelah kondangan ada kecelakaan. Melihat 2 mobil ambulans, gue yakin kalau itu kecelakaan yang cukup parah.

Singkat cerita, gue berhenti di pinggir jalan, tanya sama orang-orang, lalu ikut melihat korban kecelakaan tadi dari dekat. Bukan, gue bukan mau ngeribetin atau bikin jalanan tambah macet. Gue cuma mau memastikan apakah gue kenal dengan si korban atau tidak.

Berhubung tidak ada korban yang gue kenal, daripada bikin ribet, gue pun melanjutkan perjalanan pulang.

Belum jauh dari TKP, suara sirine mulai terdengar. Gue sudah menyalakan lampu sein kiri, dengan harapan kendaraan di belakang gue sadar kalau kami seharusnya menyingkir untuk memberi sedikit ruang agar ambulans tersebut bisa lewat.

Hasilnya? Nihil.

Dengan susah payah, akhirnya ambulans tadi berhasil mendahului gue. Tapi ternyata, kendaraan di depan gue pun masih tetap dengan posisinya (tidak mau menepi/memperlambat kendaraannya).

Hey, apa perlu semua mobil ambulans diganti truk gandeng, agar pengguna jalan lainnya mau minggir?

Apa perlu si pasien yang tubuhnya dipenuhi darah ditaruh di atap ambulans, agar pengguna jalan lainnya tahu betapa parah kondisinya?

Ah, semahal itukah kepedulian kalian?

Sesampainya di rumah, gue langsung tidur. Di tengah mimpi indah, adik gue, si Jenong, merengek minta diantar renang.

Btw, sekarang di Parung Panjang ada kolam renang yang dibuka untuk umum, di depan PERUM I tepatnya. Sederhana & jauh dari kesan mewah memang, tapi itu sudah cukup untuk membuat si Jenong anteng bermain air selama 2 jam.

Gue yang masih ngantuk, akhirnya cuma duduk sambil merokok di salah satu sudut kolam renang tersebut. Tenang, adik gue yang berumur 7 tahun ini terlalu pintar untuk bisa dilepas begitu saja di sana. Dia sudah tahu mana area yang boleh dia acak-acak & mana area yang tidak boleh didatangi.

Mungkin cuma gue yang melamun karena meratapi nasib, karena di sana banyak orang, lebih tepatnya banyak anak kecil. Anak kecil yang sedang belajar berenang, atau hanya bermain air. Entahlah.

Btw, hey, bisa membayangkan bagaimana lucunya anak-anak kecil yang sedang belajar berenang? ^^

Akhirnya lamunan gue dikejutkan oleh seorang anak kecil. Lucu & cantik dengan pakaian renang lengkap + kacamatanya, dia memulai pembicaraan;

S: Sarah.
G: Gue.

S: "Itu awannya bentuknya apa?"

G: "Eh? Aku gak tahu, kamu tahu?"

S: "Itu gajah. Bisa lihat gak?'

G: *Mulai risih* "Nggak."

S: "Itu loooh, ituuu! Payah, ah."

G: "Et. Nggak lihat.. Oy, kenalan dulu dong, aku Wenk, nama kamu siapa?"

S: "Kok namanya aneh sih. Nama aku Sarah. Bagus kan nama aku?"

Gue: *Dih! Songong nih bocah* "Iya, bagus. Rumah kamu di mana? Terus ke sini sama siapa?"

S: "Sssttt, diem yah. Aku tuh sebenarnya gak suka tinggal di sini, rumah aku banyak tikusnya."

G: "Hahaha. Emang sebelumnya tinggal di mana?"

S: "Jakarta".

G: "Oh. Kok pindah ke Parung?"

S: "Itu...... Aku ikut mama. Mama kan udah pisah sama papa."

Selanjutnya, gue tahu siapa yang sedang gue ajak bicara. Seorang anak umur 8 tahun, kelas 3 SD, dan dia hidup bersama mamanya yang sudah berpisah dengan papanya.

G: "Oy, kamu punya kakak/adik?"

S: "Punya, 2."

G: "Mana? Ikut ke sini gak? Cewek apa cowok?"

S: "Cewek semua. Aku benci sama cowok."

G: "Lah, kok gitu?"

S: "Soalnya cowok suka mukul..."

Sekali lagi, anak ini berumur 8 tahun, dan kayaknya gue tahu siapa yang dia bilang/maksud suka mukul. Mungkin, dia mengganti sebutan papa dengan cowok. Mungkin.

Kalau emang benar papanya, gue pribadi sih pengennya dia bilang, "Soalnya papa suka mukul...". Bukannya apa-apa, gue cuma gak mau nih bocah menyamakan papanya yang (mungkin) brengsek dengan cowok lainnya.

Kenapa gue bilang brengsek?

Hei, sebutan apa lagi yang pantas disandang oleh suami yang memukul istrinya, sampai membuat 'cacat' hati anaknya? Sampai sang anak perempuan benci dan gak mau punya adik cowok?

Gue sih cuma mendengar sambil beberapa kali nyeletuk ketika dia kehabisan kata-kata. Ah, seorang anak gadis, yang usianya hanya setahun lebih tua dari si Jenong, dengan santainya membicarakan semua itu ke gue, orang yang baru ditemuinya. Absurd? Iya.

Mungkin, setelah emak & babeh gue, orang terkuat di dunia ini adalah mereka yang harus menerima kenyataan, yang di mana dia sendiri belum sanggup untuk menopangnya. Termasuk, Sarah.

G: "Hei, om kan cowok. Kamu gak benci?"

S: "Benci, kok. Tadi kan aku cuma pengen nanya bentuk awan yang itu." *Nunjuk ke langit sambil berlalu pergi."

*Kampret* -_________-'

Jumat, 18 Januari 2013

Balada si Penjual Bakso Keliling

Love can be any reason to do something unusual. Like what I've done, like what I'm doing.

Dulu, pertama kali nyoba dagang gara-gara cewek. Nerusin kuliah (lagi) juga gara-gara cewek. Gara-gara cewek juga, gue terjerumus di bisnis keripik kentang. Entah ini karena gue orangnya moody, atau gak bisa lihat gebetan lebih sukses. Yang jelas gue selalu berpikiran, "Hey, dia cewek dan karirnya lebih lancar dari gue. Kenapa gue gak bisa?".

Beberapa hari ini gue gak kuliah. Gue gak bisa asyik kuliah, sementara warga Jakarta lainnya kesusahan karena banjir. Sorry, gue gak sejahat dan setega itu.

Gue yang bosan mau ngapain di rumah, akhirnya iseng bantu usaha orang tua. Yah, jadi pedagang sembako. Jenis usaha yang dulu gue hindari banget karena sebab-sebab masa kecil. Tapi setelah sekian lama tumbuh besar bersama usaha itu, gue jadi tahu kalau berdagang itu cara paling gampang untuk mendapatkan banyak uang, yang halal tentunya.

Gue mangkal di salah satu warung yang ada di komplek pasar Parung Panjang. Karya Makmur, namanya. Warung yang menjual berbagai macam rokok, sembako, dll dsb dst. Warung dengan jenis barang yang dijual, tidak kalah dengan indomaret/alfamart.

Kalau seminggu ke depan gue masih mangkal di sini, gue mau pasang WiFi biar makin betah. Gue sedang tidak bercanda, saudara-saudara.

Walaupun dengan tatapan kosong, gue bisa tahu ada sesuatu yang aneh di toko ini. Bukan, bukan sejumlah pegawai baru yang mukanya asing, bukan semrawutnya barang yang berserakan, bukan juga tikus seksi yang bentuknya hampir sama kayak kucing dewasa.

Tapi pandangan gue terpaku pada seorang wanita berumur +/- 45 tahun. Tenang, gue masih suka brondong kok.

Gue: "Ibu mau beli apa?"

Doi: "Ga beli apa-apa, kok."

Gue: "Nyari alamat/orang, mungkin?"

Doi: "Ga, kok."

Gue: "Pasti mau ngerampok? Ngaku!"

Doi: "Aisia!"

Gue: "Atuhlah terus ibu mau ngapain ke sini?"

Doi: "Ng...anu, mas.. Saya mau nyicil biaya umroh."

*hening*

Gue sih tahu kalau si emak punya usaha travel umroh, yang gue gak tahu itu cara pembayarannya bisa dicicil kayak panci kreditan. -___-

Gue: "Itu seriusan bisa dicicil gitu?"

Emak: "Iya, malah kadang-kadang gue nombokin."

Gue: "Etdah."

Emak: "Ga apa-apa, sekalian usaha, sekalian nyari pahala. Hehehehe."

Gue: "........." "Ada brosurnya?"

Emak: "Ga ada. Yang pergi kan langganan toko doang, paling dari mulut ke mulut."

Gue: "Yauda, aku bikinin."

Emak: "Tumben."

Gue: "-_____-"

Gue yang gak tahu harus ngomong apalagi, akhirnya dengan darah muda membara yang dicampur insting turunan pedagang dari orang tua, dan dorongan cinta dari *****, gue bikin juga selebarannya. Tadi sempet mikir, dulu gue ngeremehin dan cuekin orang yang suka nyebarin brosur, tapi sekarang kebalik. :|

Karena cuaca tidak mendukung, gue hanya sempat membagikan beberapa brosur. Tapi orang yang punya insting bisnis, tak akan menyerah begitu saja. Sorenya, gue nyegat Kang Bakso Keliling yang biasanya lewat depan rumah. Diam, gue sedang tidak bercanda.

Gue: "Kang, sini bentar deh."

Kang Bakso: "Iya, Mas?"

Gue: "Kalau jualan sampe sana ga (nyebutin daerah-daerah yang ada di peta Parung Panjang)?

Kang Bakso: "Ya iya, Mas."

Gue: "Mau saya kasih tambahan penghasilan ga? Sebarin brosur."

Kang Bakso: "Yauda. Mana, Mas?"

Gue: "Bentar ya, saya ambil dulu."

Apakah memang semudah ini membujuk seorang Kang Bakso Keliling buat nyebarin brosur? Gue sih rada khawatir, soalnya ini lebih terlihat seperti transaksi narkoba dengan modus baru via Kang Bakso Keliling. Tinggal nunggu aparat berbaju preman muncul tiba-tiba dari got depan rumah dan dengan sigapnya menangkap kami berdua doang sih ini mah. --"

Anyway, gue serahin deh tuh setumpuk brosur warna merah ke si Kang Bakso, dan doi sempat menolak halus ketika gue kasih uang. Duh.

Kang Bakso: "Emang ini brosur apaan sih, Mas?"

Gue: (Tuh kan dia mulai curiga) "Travel umroh, Kang."

Iya, gue tahu kalau menitipkan brosur travel umroh ke seorang Kang Bakso Keliling itu emang absurd banget, tapi lo semua harus tahu esensinya.

Nih ya gue kasih tahu, Kang Bakso itu selalu dekat dengan ibu-ibu, dan lo semua juga pasti tahu kalau 90% para suami di Indonesia itu SUSUTAI (SUami-SUami TAkut Istri). Jadi ya siap-siap aja tuh para suami didemo oleh para istri yang kepengen banget pergi umroh. Mengagumkan bukan, cara berpikir seorang pemuda yang kelebihan hormon cinta? ^^

Ah. Mungkin jika suatu saat nanti gue jadi orang sukses, itu juga pasti gara-gara istri gue.

Senin, 07 Januari 2013

Seonggok Bangkai Kambing.

Tadi pagi gue melihat tumpukan sampah jatuh di pinggir jalan raya Parung Panjang.

Oke, bukan tumpukan sampah. Setelah mendekat, ternyata itu bangkai kambing yang hancur terlindas kendaraan berat. Rahangnya masih terlihat, giginya mencuat, usus-ususnya terburai di jalanan, warna bulunya coklat hitam. Kondisi jalanan sudah ramai orang dan kendaraan, tapi tidak ada yang peduli sama bangkai itu. Itu jelas bangkai kambing yang mati beberapa jam lalu sebelum subuh dan tidak ada orang yang peduli.

Hampir tiap hari gue naik motor bolak balik Parung-Jakarta. Sepanjang jalan selalu dekat dengan kendaraan berat, sepanjang jalan selalu dekat dengan kematian. Lagi membayangkan saja, besok mati gue juga terlindas truk, hancur, diacuhkan orang-orang sekitar kayak anjing tadi ga ya (?)

Kalau dulu, setelah pulang kuliah selalu pengen nongkrong. Seiring berjalannya waktu, gue cuma pengen pulang selamet saja sampai rumah. Ketemu emak & babeh, sudah itu saja.

Salah satu hal yang gue takuti itu mati tanpa ada yang tahu. Tanpa ada yang tahu gue mati atau ngga, tanpa ada yang tahu gue pernah hidup atau ngga. Makanya gue selalu bawa dompet (yang di dalamnya ada secarik kertas no. Telp orang terdekat) dan HP, buat jaga-jaga kalau ada sesuatu di jalan. Ya walaupun dompetku setipis dadamu, at least kalau mati hancur, masih ada yang tahu nama gue, hubungi nomer rumah, dan orang rumah tahu kalau gue sudah mati.

Makanya gue sering dan akan terus ngoceh di Twitter, Facebook, blog, dll dsb dst. Itu gue lakukan agar semua orang tahu gue berpikir dan pernah hidup. Berpikir, kemudian menulisnya. Tulisan apa saja, tentang ketuhanan, pengalaman, curhatan, dll dsb dst.

Cogito ergo sum. Aku berpikir, maka aku ada.