Senin, 07 Januari 2013

Seonggok Bangkai Kambing.

Tadi pagi gue melihat tumpukan sampah jatuh di pinggir jalan raya Parung Panjang.

Oke, bukan tumpukan sampah. Setelah mendekat, ternyata itu bangkai kambing yang hancur terlindas kendaraan berat. Rahangnya masih terlihat, giginya mencuat, usus-ususnya terburai di jalanan, warna bulunya coklat hitam. Kondisi jalanan sudah ramai orang dan kendaraan, tapi tidak ada yang peduli sama bangkai itu. Itu jelas bangkai kambing yang mati beberapa jam lalu sebelum subuh dan tidak ada orang yang peduli.

Hampir tiap hari gue naik motor bolak balik Parung-Jakarta. Sepanjang jalan selalu dekat dengan kendaraan berat, sepanjang jalan selalu dekat dengan kematian. Lagi membayangkan saja, besok mati gue juga terlindas truk, hancur, diacuhkan orang-orang sekitar kayak anjing tadi ga ya (?)

Kalau dulu, setelah pulang kuliah selalu pengen nongkrong. Seiring berjalannya waktu, gue cuma pengen pulang selamet saja sampai rumah. Ketemu emak & babeh, sudah itu saja.

Salah satu hal yang gue takuti itu mati tanpa ada yang tahu. Tanpa ada yang tahu gue mati atau ngga, tanpa ada yang tahu gue pernah hidup atau ngga. Makanya gue selalu bawa dompet (yang di dalamnya ada secarik kertas no. Telp orang terdekat) dan HP, buat jaga-jaga kalau ada sesuatu di jalan. Ya walaupun dompetku setipis dadamu, at least kalau mati hancur, masih ada yang tahu nama gue, hubungi nomer rumah, dan orang rumah tahu kalau gue sudah mati.

Makanya gue sering dan akan terus ngoceh di Twitter, Facebook, blog, dll dsb dst. Itu gue lakukan agar semua orang tahu gue berpikir dan pernah hidup. Berpikir, kemudian menulisnya. Tulisan apa saja, tentang ketuhanan, pengalaman, curhatan, dll dsb dst.

Cogito ergo sum. Aku berpikir, maka aku ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar