Minggu, 23 Februari 2014

Sinta Bukan Untuk Rama

Hari minggu kemarin gue kondangan, di sana gue ketemu sama seorang teman lama. Sebut saja dia Rama. Orangnya baik, apa adanya kalau ngomong, jujur, selalu pegang janji, dll dsb dst. Pokoknya untuk ukuran manusia, dia termasuk Homo Sapiens jantan terbaik versi On The Spot.

Nah... Dia cerita lagi tentang teman cewek sekampus kita yang dia taksir mati-matian sejak jaman penjajahan. Gue sih memang gudangnya curhatan, entah sudah berapa kali dicurhatin hal yang sama, tapi ga apa-apa, yang penting bisa berguna bagi umat manusia.

Dia cerita tentang awal perjuangan dia untuk mendapatkan Sinta (nama samaran). Sebenarnya banyak pengorbanan yang dia ceritakan, tapi ini yang paling bikin gue merasa takjub..

Jadi ceritanya si Sinta pernah ga keluar nilai mata kuliahnya, terus dia berusaha ngomong sama dosen pengampu mata kuliah itu. Sinta udah nguber-nguber tuh dosen selama 2 minggu dan pake nangis pula. Gue tahu betapa jengkelnya menghadapi dosen yang sok penting dan cuek. Dan yah, Sinta itu kan cewek, jadi wajar kalau care banget sama nilainya. Kalau gue sih gampang, tinggal protes sambil bawa kokang minyak tanah, kelar.

Padahal alasan nilainya ga keluar juga logis, kok. Sinta ga bisa ikut ujiannya tuh dosen karena ada ujian lain pada waktu yang bersamaan, jadi dia cuma bisa ikut ujian susulannya. Dan tragedi pun dimulai ketika yang jaga ujian susulan menghilangkan lembar jawabannya Sinta.

Apa ga bete, tuh? Udah susah-susah ujian susulan, eh malah hilang lembar jawabannya, mana pake ga diterima pula alasannya sama si dosen. Dan si Rama, yang waktu itu dengan semangat cinta membara, ingin menjadi pahlawan setelah Sinta curhat mengenai masalah nilainya itu.

Rama menghadap tuh dosen untuk bicara empat mata (8 mata, ding. Rama dan si dosen pake kacamata). Mulanya si dosen tetap pada pendiriannya, ga ngasih nilai buat Sinta. Dia ngotot meski tahu kesalahan bukan dari Sinta. Rama pun tetap kekeuh pengen nilai Sinta keluar.

Btw, si Rama ini kalau sudah janji, pasti dipenuhi. Sumpah, belum pernah gue temuin laki-laki dengan harga diri tinggi yang selalu berusaha memenuhi janjinya. Pernah gue janjian sama dia buat ketemuan di kampus, ga tahunya hujan deras parah sore itu, maka dengan gampang gue SMS kalau ga bisa datang. Besoknya dia bilang kalau dia udah di kampus dari siang. Bersalah lah daku. :(

Kata-kata yang selalu gue inget dari dia adalah, "Cewek itu yang dijaga penampilannya, cowok itu yang dijaga janjinya'.

Dan pas si dosen bilang, "Kok kamu ngatur-ngatur saya?". Rama yang sebenarnya sudah tidak tahu harus membalas apalagi, langsung berkata, "Bapak kan dulu pernah muda, saya itu sayang sama dia. Saya ga terima kalau semester besok saya ga sekelas lagi sama dia".

WATDEPAK!!! Gue hampir ga percaya ada yang bisa ngomong gitu sama dosen.

Si dosen pun cuma nimpalin, "Oh ya.. yaa, Mas..".

Lusanya nilai Sinta keluar, dapet A pula! Ajaib, cuy! 2 minggu dengan tangisan, langsung tumbang oleh gelora cinta tak terbalas.

Rama juga cerita kalau Sinta satu-satunya orang yang bisa bikin dia taat solat, puasa senin kamis, dan puasa weton. Beuh, mantabh!

Dulu Sinta sering bilang di SMS-nya kalau dia mau solat dulu blublublub.. Rama yang merasa ga enak juga ikutan solat... Dari situ, Rama keterusan rajin solat. Ga cuma solat, dia juga rajin puasa senin kamis karena si Sinta.

Dan meski sekarang Sinta meninggalkan Rama karena dia lebih memilih pria lain, Rama tetap saja rajin solat dan puasa. Ditambah pula, dia yang memang anak primbon, puasa di hari wetonnya dan weton si Sinta (Entahlah ini puasa apa).

Pokoknya dia bilang, "Gue puasa pas wetonnya (Sinta) itu sebagai rasa terima kasih buat dia. Dia yang bisa bikin gue berubah kayak gini, sekarang kalau gue ga solat rasanya berdosa, Dul.. Gue kan ga bisa ngasih sesuatu secara langsung, orang dianya sekarang kayak gitu sama gue.. Ya gini cara gue berterima kasih, puasa pas wetonnya..".

Sebegitunya kah pengorbanan dia? Gue cuma mlongo sambil mangap. Lama. :o

*2 jam kemudian*

Bagi cowok lain, mungkin bisa berubah drastis jadi baik hanya ketika kekasihnya ada di sampingnya. Ketika si cewek pergi, maka pergilah juga sifat baik jadi-jadian itu. Tapi Rama nggak, dia tetap pada pendiriannya. Ini dia yang gue sebut sebagai ‘lelaki’. Pegangannya tidak hancur setelah perlakuan Sinta yang akhirnya malah menolaknya. Ironis.

Tapi sekali lagi, gue salut atas usahanya. Mungkin buat cewek itu biasa, tapi menurut gue itu usaha yang sangat luar biasa.

Semuanya mengingatkan gue akan sosok seseorang. Tidak sehebat cerita Rama & Sinta, tapi punya arti sendiri buat gue.

"Pokoknya kalau punya anak cowok harus kuliah jurusan pertambangan, cewek kedokteran." Katanya, dulu.

Dan ketika gue sudah ga sama dia lagi, gue ga gitu aja mangkir ogah-ogahan terus jadi pria lemah syahwat. Gue tetap akan berusaha untuk mewujudkannya. Life must go on, broooh. Let she gone and just be my imaginary inspirator.

Hei, yang terpenting bukan orangnya, tapi cinta yang telah dia berikan dan kenangan-kenangan indah itu.

Jadi, biarkan dia pergi dan bagian-bagian dari dirinya selalu menginspirasimu.

Selasa, 18 Februari 2014

Surat Untukmu, Nak.

Tadi sore nenekmu menelpon, sambil terisak dia bilang, "kangen". Hmm... Padahal belum 2 bulan ayah meninggalkan rumah, tapi memang seperti itulah nenekmu. Dia masih menganggap ayahmu ini seperti anak kecil, tak apa, ayah suka. Itu tandanya beliau sangat menyayangi ayah.

Kami berbicara panjang lebar tadi. Dimulai dari masalah di rumah, toko, dll dsb dst. Mendengar ocehan nenekmu tadi, ayah juga jadi rindu sama nenekmu yang cerewet itu.

Di akhir pembicaraan, dia berpesan: "Jangan lupa Shalat". Jadi nak, setiap ayah pergi dari rumah, hanya kata-kata itu yang selalu diulang oleh nenekmu. Dia tidak pernah berpesan, "Jangan menghamili anak orang.", atau yang lainnya.

Anakku sayang, maafkan ayahmu... Maafkan ayah yang selalu kasar terhadap nenekmu, yang tak menghargai jerih payah kakekmu. Ayah yang hanya bisa membentak nenekmu justru ketika dia menawarkan air hangat untuk mandi sepulang kuliah. Ayah yang hanya bisa menyerapahi kakekmu justru ketika kondisi keuangan keluarga ayah jauh lebih mapan dari sekarang.

Ayah ingin menangis rasanya jika teringat suatu hari nanti harus melihat wajahmu lahir ke dunia ini, melihat wajah tumpuan kasih sayang ayah dan ibumu. Semakin terisak jika harus melihatnya dengan kenangan-kenangan masa lalu ayah. Ketika ayah mengambil rupiah hasil jualan sembako nenekmu hanya untuk sebungkus permen. Ketika ayah berlarian ke sana ke mari berteriak meminta nenekmu menemani ayah bermain di tengah pelanggan-pelanggannya yang sedang menunggu. Ayah yang sering mencari perhatian nenekmu dengan membuat keonaran dan menjahili anak-anak tetangga. Senyuman-senyuman manis nenekmu yang cantik itu, entah mengapa, ayah balas dengan kerutan alis. Maafkan ayah, nak...

Perih hati ayah jika suatu saat melihatmu berpakaian seragam memulai hari di sekolah. Melihat jagoan tumpuan tanggung jawab ayah. Semakin menyayat rasanya jika harus memandangmu sambil mengingat kakekmu yang tegar itu. Yang menahan gumaman-gumaman merendahkan keluarga ayah yang hanya penjual sembako di pasar. Berangkat pagi, pulang malam, dan tanpa hari libur. Yang ayah dengan santainya sering meminta uang dari kakekmu tanpa menyadari bagaimana susah mendapatkannya. Atau ketika ayah memaki kakekmu dalam hati saat tak diijinkan pergi bermain.

Nak, tak semua keinginan harus terpenuhi. Semua itu agar kita punya semangat untuk terus maju. Begitu juga nantinya denganmu. Suatu saat nanti, ayah pasti banyak tak bisa mengabulkan permintaanmu. Mobil-mobilan, boneka, baju, gasing kayu, miniatur kereta api, helikopter remote control, atau gadget terbaru pasti tak semuanya bisa ayah penuhi. Salahkan saja ayah, tak apa. Asal jangan meminta pada orang lain, pedih hati ayah.

Nak, ayah tidak akan menjadi ayah nomor satu di dunia, tapi ayah akan berusaha memberimu yang terbaik. Satu pinta ayah, bersabarlah...

Nak, maafkan ayah telah memberimu contoh yang tak baik, bahkan sebelum kamu lahir. Ayah tak mampu melarangmu berbuat demikian. Ayah tahu, ayah dahulu tidak menjadi anak yang teladan, belum juga bisa menjadi ayah yang bijak. Hal-hal seperti itu yang menakuti ayah akan hakikat seorang laki-laki untuk menjadi kepala rumah tangga. Apa ayah bisa?

Nak, ayah hanya seorang yang egois, sombong dan penuh dendam. Dendam-dendam masa lalu yang masih saja membayangi ayah, yang ayah takutkan akan menular kepadamu suatu saat nanti.

Nak, kamu tak perlu mendapat bentakan agar mau menuruti perintah ayah, kamu tak perlu disabet dengan sapu lidi jika nakal. Ayah janji, karena kamu anak yang pintar, ayah yakin itu.

Nak, ayah janji akan selalu menemanimu. Dari pertama kamu membuka mata untuk dunia ini, mengajarkan bagaimana menapakkan kaki satu persatu dan terjatuh. Tak apa, kamu jatuh untuk bangkit lagi. Sama saat kamu belajar naik sepeda nanti. Ayah akan dorong sepedanya, kamu kayuh sekuat tenaga. Terjatuh tak apa, tapi bangkit lagi. Jadilah anak yang kuat, nak.

Nak, sewaktu pertama kali kamu memakai seragam sekolah, itu akan menjadi semacam peringatan bagi ayah bahwa kamu mulai tumbuh besar. Ayah tak akan selalu ada di sampingmu. Ayah tak perlu menunggumu setiap hari di sekolah, ada teman-teman yang setia di luar sana. Patuhi juga guru-gurumu, mereka pengganti ayah di sana. Meski pasti tabiatmu mulai berubah sedikit demi sedikit karena telah mulai bertemu banyak orang, tak apa, itu tandanya kamu belajar.

Hingga pada suatu hari, kamu tak membalas pesan dari ayah. Kamu pulang terlambat tapi tetap berkelit dengan alasan mengerjakan tugas sekolah, les dan sebagainya. Ayah tahu itu bukan sebenarnya, ayah juga pernah seumuranmu, nak.

Ayah juga harus menyadari, anak kesayangan ayah sudah menemukan tempat nyamannya selain di rumah. Ayah akan semakin sering melarangmu pergi, menginterogasimu setelah pulang, memarahimu jika terlambat jam malam, meski itu semua tak akan membuatmu gentar mencari jati diri di luar sana. Bukannya ayah tak setuju, ayah hanya selalu terpikirkan olehmu. Akhirnya, ayah tak harus menahanmu terus di sini, tapi rumah ini selalu terbuka untukmu kembali, nak.

Hingga tiba-tiba kamu membangkang perintah ayah. Ayah seharusnya tak perlu kaget. Hal sama yang lebih parah pernah ayah lakukan pada kakek nenekmu dulu. Tapi tetap saja ini akan menjadi titik balik bagimu untuk menjadi dewasa, dan bagi ayah untuk menyesali apa yang telah ayah lakukan dahulu. Kamu, saat itu, tak akan bisa mengerti perasaan orang tua yang dibantah anaknya. Mengisak tangis, bertanya dalam hati tentang apa yang salah sehingga anaknya berani sekasar itu pada dirinya. Apakah ini semua balasan dari kelakuan ayah dulu terhadap kakek nenekmu? Kamu tak akan paham sampai titik itu. Yang kamu pikirkan hanyalah bagaimana melampiaskan egomu saat itu juga, sama seperti ayah sekarang.

Nak, hidup tak pernah menjadi lebih mudah. Mungkin ketika kamu kecil, kamu akan berpikir jika menjadi orang dewasa itu enak karena bisa membeli mainan apapun yang disukainya. Tapi orang dewasa tak butuh mainan seperti yang kamu mau. Mereka punya hal yang lebih penting untuk diperjuangkan. Seperti yang ayah bilang tadi, tumpuan kasih sayang dan tanggung jawab, kamu.

Satu lagi pesan ayah untukmu nanti, sayangilah ibumu. Sayangi ibumu yang dulu sering ayah sakiti. Kamu tahu, ibumu nanti pastilah seorang perempuan yang tegar, yang mampu hidup bersandingkan ayah di sampingnya.

Nak, jangan jadi orang yang tak bisa menghargai orang lain. Jangan jadi pengecut seperti ayah. Jangan jadi orang yang egois, sombong dan penuh dendam seperti ayah. Kamu anak pintar, pasti lebih tahu bagaimana menjalani hidup daripada ayah.

Salam sayang,

Ayahmu

Senin, 17 Februari 2014

Ketika atom-atom bersatu

Ini bukan tentang berapa minimal gajiku saat memutuskan untuk menikah kelak. Tapi bagaimana aku dan istriku nanti membangun keluarga kami dari nol. Aku tak ingin karena masing-masing dari kami sudah membawa kekayaan sendiri-sendiri maka kami menjadi saling egois. Aku tak ingin istriku merasa tak memerlukanku karena sudah punya pekerjaan mapan sendiri, begitu juga sebaliknya. Dan jika semua itu terjadi, perpisahan ada di depan mata. Itu tak ubahnya pasangan yang sekedar pacaran...

Aku ingin kami merangkak bersama dari ketiadaan. Jerih payah, pahit dan bahagia dalam membangun keluarga akan semakin membuat kami merasa dekat. Ketika istriku putus asa pada hubungan kami, aku ingin dia mengingat segala usaha kami dulu dan berpikir dua kali untuk mengambil keputusan yang gegabah, begitu juga sebaliknya aku. Tapi bukan berarti aku akan menggantungkan diri kepadanya. Aku tetap imam, kepala rumah tangga dan pencari nafkah. Istriku kelak tetap sebagai semangat, keluargaku sebagai tujuannya.

Aku tak ingin salah satu di antara kami merasa paling bisa tanpa yang lainnya. Aku adalah dia, dia adalah aku, kami adalah atom-atom yang bersatu.

Pernah aku bertanya pada seorang teman seperti tadi; 'Menurutmu berapa minimal gaji yang cocok untuk mulai menikah?'. Dia hanya menjawab 'Menikah saja dulu, setelah itu pintu rejeki akan terbuka. Lagipula, apa kamu mau menikah sendiri? Kan ada istrimu...'. Pernyataan yang biasa saja, namun menjadi luar biasa ketika yang menjawab itu adalah temanku yang anak dari pasangan pengusaha kaya.

Aku berharap hitungan angka yang keluar dari bibirnya, tapi ternyata malah sebuah nasehat menusuk. Dia lebih suka tinggal di kontrakan dan naik motor hasil tabungannya sendiri, padahal ditawari rumah dan mobil oleh bapaknya. Dia bilang jika dia tak ingin dilihat oleh perempuan dari materinya. Dia yang sering bercerita tentang susah payah bapaknya meraih semua ini berawal dari berjualan bensin eceran.

Lain lagi cerita tentang teman ibuku. Dulu dia hanya seorang supir dan karyawan di toko sembako. Pernah suatu ketika diminta oleh pacarnya untuk keluar dari pekerjaan itu, entah karena malu atau dirasa tak menjanjikan. Dia tak mau dan si pacar meninggalkannya. Berbagai pekerjaan sambilan pun pernah dilakoninya, termasuk menjadi tukang ojek. Kini dia mempunyai seorang istri yang sangat menyayanginya. Istrinya, seorang sarjana, dulu sering menemaninya menjaga toko. Istrinya, tak malu menikah degannya yang bahkan tak diketahui riwayat pendidikannya. Sebagian besar keluarganya tak menyetujui hubungan mereka, tentu saja. Terlebih karena istrinya itu anak tunggal.

Tapi kalian tak akan percaya jika melihat toko dan usaha rental mobilnya sekarang. Itu juga tanpa modal apapun kecuali ilmu dagang yang dia dapatkan dulu dan menghutang banyak. Rumah, tanah, dan beberapa mobil adalah bukti kesuksesannya. Belum lagi beberapa burung yang kalau dihitung hampir seharga mobil. 2 anaknya masih kecil-kecil, cerdas dan mainannya laptop atau tablet, bukan layangan sepertiku dulu.

Itu 10 tahun yang lalu. Waktu yang sangat singkat untuk membalas penolakan dengan kesuksesan luar biasa. Aku hanya sedikit tahu tentang bagaimana sakitnya ditolak karena materi dan pendidikan, orang itu mungkin mengalami lebih.

Kalian tahu bagian paling indah dari semua ini? Rasa saling menghargai dalam keluarga. Karena mereka tahu, tak mudah untuk mendapatkan sesuatu. Semakin mudah didapatkan, semakin mudah pula hilangnya.

Mencari pasangan hidup itu tidak sama dengan mencari pacar. Kamu tak harus mencari yang terbaik, tapi menciptakan kebaikan.