Kamis, 06 Maret 2014

Let Her Go

Duduk di depan komputer yang sama tiap kali membuat laporan di warnet ini.

“Well you only need the light when it’s burning low.
Only miss the sun when it starts to snow.
Only know you love her when you let her go.”

Aku sengaja memutar lagu ini tiap kali membuat laporan. Diulang terus, sampai laporan selesai. Perpaduan yang indah, sama seperti senyum perempuan yang mengisi ingatanku sore ini. Satu nama mengisi apa yang mereka bilang isi kepala, katanya.

Aku tak pernah benar-benar tahu apakah perempuan itu mengisi kepalaku, yang aku tahu, ia mengisi detak waktu jam dan nadiku belakangan ini.

"Well you see her when you fall asleep.
But never to touch and never to keep.
‘Cause you loved her too much.
And you dived too deep.”

"Hahaha, I did. I just did!", kataku, saat sedikit ikut menggumamkan kalimat terakhir di lirik tadi.

Aku jatuh terlalu dalam. Maksudku, menjatuhkan diri.

Aku tahu apa yang ada di kedalaman matanya, aku tahu palungnya, aku tahu derasnya yang membawaku semakin ke dasar, semakin dalam. Mata indah itu ada di hadapanku, sekarang.

See? Aku adalah salah satu pria di dunia yang sedang berbahagia karena berhasil mengagumi satu perempuan sedalam ini, sesore ini.

“And you let her go (oh, oh, ooh, oh no)
And you let her go (oh, oh, ooh, oh no)
Will you let her go?”

"Hell, no! You must be kidding me.", terlintas begitu saja di kepala pada kalimat sebelum tanda tanya di lirik tadi.

Masih di lagu yang sama, Let Her Go - Passenger.

Jelas. Aku tak ingin membiarkan perempuan di hadapanku pergi. Aku jatuh cinta pada senyumnya, matanya, tutur katanya, gerak tubuhnya.

Aku suka ketika melihat dia senang karena menang dan berkata, "Haha. Noob Pinoy. Putang ina mo.", dengan congkaknya. Yang aku sendiri tak tahu apa artinya.

Tapi aku lebih suka ketika melihatnya cemberut karena kalah dan berkata, "Kamu sih, cupu banget jadi carry. Lain kali jadi kurir atau creep hutan aja deh.", dengan manjanya.

(((CREEP HUTAN)))

"HAHAHAHAHAHAHA", tawaku dalam hati.

Pokoknya +1 untuk wanita yang bermain Dota. Dan ya, kalian salah, aku mengaguminya lebih dalam dari yang kalian kira.

Btw, ini pertemuan ketigaku dengannya. Baru, memang. Dan kalian akan mengira bahwa aku nampak seperti ABG pada umumnya, yang masih terlalu identik dengan cinta monyet. Halah, Aku tidak peduli, sebab aku tidak perlu diselamatkan dari apa yang kurasakan.

Lagu Let Her Go ini sebentar lagi akan berakhir, aku tahu.

“Satu game lagi, sayang?”, tanya perempuan bermata coklat dan berambut hitam panjang yang indah itu.

"Nggak deh, nanti kemaleman. Aku takut di-Dagon ayahmu.”

Perempuan itu tersenyum, manis.

Begitupun aku.

Lalu ia menggapai tangan di hadapannya, seraya melangkahkan kaki mereka berdua menuju pintu keluar warnet yang cukup sederhana ini.

Aku senang, dan masih terduduk di kursi yang sama. Sesekali memalingkan pandangan ke arah pintu dan berharap dia kembali lagi. Tapi, ah, mungkin lain kali.

Aku kesal, sembari sedikit tersenyum kecut dan menggerutu di dalam hati: “Semoga lain waktu, ia tak bersama kekasihnya”.

Licik? Tidak, aku hanya ingin jujur pada diriku sendiri.

Kulanjutkan mengerjakan laporan, lalu pulang. Tapi aku pasti akan kembali lagi, untuk membuat laporan, dengan harapan bisa bertemu lagi dengan senyum perempuan yang tak pernah berani kucari tahu namanya itu.

“Only know you’ve been high when you’re feeling low.
Only hate the road when you’re missin’ home.
Only know you love her when you let her go."

"And you let her go.....”

Dan kini, lagu ini pun benar-benar berakhir.

Sampai jumpa lagi, Nona.

Minggu, 23 Februari 2014

Sinta Bukan Untuk Rama

Hari minggu kemarin gue kondangan, di sana gue ketemu sama seorang teman lama. Sebut saja dia Rama. Orangnya baik, apa adanya kalau ngomong, jujur, selalu pegang janji, dll dsb dst. Pokoknya untuk ukuran manusia, dia termasuk Homo Sapiens jantan terbaik versi On The Spot.

Nah... Dia cerita lagi tentang teman cewek sekampus kita yang dia taksir mati-matian sejak jaman penjajahan. Gue sih memang gudangnya curhatan, entah sudah berapa kali dicurhatin hal yang sama, tapi ga apa-apa, yang penting bisa berguna bagi umat manusia.

Dia cerita tentang awal perjuangan dia untuk mendapatkan Sinta (nama samaran). Sebenarnya banyak pengorbanan yang dia ceritakan, tapi ini yang paling bikin gue merasa takjub..

Jadi ceritanya si Sinta pernah ga keluar nilai mata kuliahnya, terus dia berusaha ngomong sama dosen pengampu mata kuliah itu. Sinta udah nguber-nguber tuh dosen selama 2 minggu dan pake nangis pula. Gue tahu betapa jengkelnya menghadapi dosen yang sok penting dan cuek. Dan yah, Sinta itu kan cewek, jadi wajar kalau care banget sama nilainya. Kalau gue sih gampang, tinggal protes sambil bawa kokang minyak tanah, kelar.

Padahal alasan nilainya ga keluar juga logis, kok. Sinta ga bisa ikut ujiannya tuh dosen karena ada ujian lain pada waktu yang bersamaan, jadi dia cuma bisa ikut ujian susulannya. Dan tragedi pun dimulai ketika yang jaga ujian susulan menghilangkan lembar jawabannya Sinta.

Apa ga bete, tuh? Udah susah-susah ujian susulan, eh malah hilang lembar jawabannya, mana pake ga diterima pula alasannya sama si dosen. Dan si Rama, yang waktu itu dengan semangat cinta membara, ingin menjadi pahlawan setelah Sinta curhat mengenai masalah nilainya itu.

Rama menghadap tuh dosen untuk bicara empat mata (8 mata, ding. Rama dan si dosen pake kacamata). Mulanya si dosen tetap pada pendiriannya, ga ngasih nilai buat Sinta. Dia ngotot meski tahu kesalahan bukan dari Sinta. Rama pun tetap kekeuh pengen nilai Sinta keluar.

Btw, si Rama ini kalau sudah janji, pasti dipenuhi. Sumpah, belum pernah gue temuin laki-laki dengan harga diri tinggi yang selalu berusaha memenuhi janjinya. Pernah gue janjian sama dia buat ketemuan di kampus, ga tahunya hujan deras parah sore itu, maka dengan gampang gue SMS kalau ga bisa datang. Besoknya dia bilang kalau dia udah di kampus dari siang. Bersalah lah daku. :(

Kata-kata yang selalu gue inget dari dia adalah, "Cewek itu yang dijaga penampilannya, cowok itu yang dijaga janjinya'.

Dan pas si dosen bilang, "Kok kamu ngatur-ngatur saya?". Rama yang sebenarnya sudah tidak tahu harus membalas apalagi, langsung berkata, "Bapak kan dulu pernah muda, saya itu sayang sama dia. Saya ga terima kalau semester besok saya ga sekelas lagi sama dia".

WATDEPAK!!! Gue hampir ga percaya ada yang bisa ngomong gitu sama dosen.

Si dosen pun cuma nimpalin, "Oh ya.. yaa, Mas..".

Lusanya nilai Sinta keluar, dapet A pula! Ajaib, cuy! 2 minggu dengan tangisan, langsung tumbang oleh gelora cinta tak terbalas.

Rama juga cerita kalau Sinta satu-satunya orang yang bisa bikin dia taat solat, puasa senin kamis, dan puasa weton. Beuh, mantabh!

Dulu Sinta sering bilang di SMS-nya kalau dia mau solat dulu blublublub.. Rama yang merasa ga enak juga ikutan solat... Dari situ, Rama keterusan rajin solat. Ga cuma solat, dia juga rajin puasa senin kamis karena si Sinta.

Dan meski sekarang Sinta meninggalkan Rama karena dia lebih memilih pria lain, Rama tetap saja rajin solat dan puasa. Ditambah pula, dia yang memang anak primbon, puasa di hari wetonnya dan weton si Sinta (Entahlah ini puasa apa).

Pokoknya dia bilang, "Gue puasa pas wetonnya (Sinta) itu sebagai rasa terima kasih buat dia. Dia yang bisa bikin gue berubah kayak gini, sekarang kalau gue ga solat rasanya berdosa, Dul.. Gue kan ga bisa ngasih sesuatu secara langsung, orang dianya sekarang kayak gitu sama gue.. Ya gini cara gue berterima kasih, puasa pas wetonnya..".

Sebegitunya kah pengorbanan dia? Gue cuma mlongo sambil mangap. Lama. :o

*2 jam kemudian*

Bagi cowok lain, mungkin bisa berubah drastis jadi baik hanya ketika kekasihnya ada di sampingnya. Ketika si cewek pergi, maka pergilah juga sifat baik jadi-jadian itu. Tapi Rama nggak, dia tetap pada pendiriannya. Ini dia yang gue sebut sebagai ‘lelaki’. Pegangannya tidak hancur setelah perlakuan Sinta yang akhirnya malah menolaknya. Ironis.

Tapi sekali lagi, gue salut atas usahanya. Mungkin buat cewek itu biasa, tapi menurut gue itu usaha yang sangat luar biasa.

Semuanya mengingatkan gue akan sosok seseorang. Tidak sehebat cerita Rama & Sinta, tapi punya arti sendiri buat gue.

"Pokoknya kalau punya anak cowok harus kuliah jurusan pertambangan, cewek kedokteran." Katanya, dulu.

Dan ketika gue sudah ga sama dia lagi, gue ga gitu aja mangkir ogah-ogahan terus jadi pria lemah syahwat. Gue tetap akan berusaha untuk mewujudkannya. Life must go on, broooh. Let she gone and just be my imaginary inspirator.

Hei, yang terpenting bukan orangnya, tapi cinta yang telah dia berikan dan kenangan-kenangan indah itu.

Jadi, biarkan dia pergi dan bagian-bagian dari dirinya selalu menginspirasimu.

Selasa, 18 Februari 2014

Surat Untukmu, Nak.

Tadi sore nenekmu menelpon, sambil terisak dia bilang, "kangen". Hmm... Padahal belum 2 bulan ayah meninggalkan rumah, tapi memang seperti itulah nenekmu. Dia masih menganggap ayahmu ini seperti anak kecil, tak apa, ayah suka. Itu tandanya beliau sangat menyayangi ayah.

Kami berbicara panjang lebar tadi. Dimulai dari masalah di rumah, toko, dll dsb dst. Mendengar ocehan nenekmu tadi, ayah juga jadi rindu sama nenekmu yang cerewet itu.

Di akhir pembicaraan, dia berpesan: "Jangan lupa Shalat". Jadi nak, setiap ayah pergi dari rumah, hanya kata-kata itu yang selalu diulang oleh nenekmu. Dia tidak pernah berpesan, "Jangan menghamili anak orang.", atau yang lainnya.

Anakku sayang, maafkan ayahmu... Maafkan ayah yang selalu kasar terhadap nenekmu, yang tak menghargai jerih payah kakekmu. Ayah yang hanya bisa membentak nenekmu justru ketika dia menawarkan air hangat untuk mandi sepulang kuliah. Ayah yang hanya bisa menyerapahi kakekmu justru ketika kondisi keuangan keluarga ayah jauh lebih mapan dari sekarang.

Ayah ingin menangis rasanya jika teringat suatu hari nanti harus melihat wajahmu lahir ke dunia ini, melihat wajah tumpuan kasih sayang ayah dan ibumu. Semakin terisak jika harus melihatnya dengan kenangan-kenangan masa lalu ayah. Ketika ayah mengambil rupiah hasil jualan sembako nenekmu hanya untuk sebungkus permen. Ketika ayah berlarian ke sana ke mari berteriak meminta nenekmu menemani ayah bermain di tengah pelanggan-pelanggannya yang sedang menunggu. Ayah yang sering mencari perhatian nenekmu dengan membuat keonaran dan menjahili anak-anak tetangga. Senyuman-senyuman manis nenekmu yang cantik itu, entah mengapa, ayah balas dengan kerutan alis. Maafkan ayah, nak...

Perih hati ayah jika suatu saat melihatmu berpakaian seragam memulai hari di sekolah. Melihat jagoan tumpuan tanggung jawab ayah. Semakin menyayat rasanya jika harus memandangmu sambil mengingat kakekmu yang tegar itu. Yang menahan gumaman-gumaman merendahkan keluarga ayah yang hanya penjual sembako di pasar. Berangkat pagi, pulang malam, dan tanpa hari libur. Yang ayah dengan santainya sering meminta uang dari kakekmu tanpa menyadari bagaimana susah mendapatkannya. Atau ketika ayah memaki kakekmu dalam hati saat tak diijinkan pergi bermain.

Nak, tak semua keinginan harus terpenuhi. Semua itu agar kita punya semangat untuk terus maju. Begitu juga nantinya denganmu. Suatu saat nanti, ayah pasti banyak tak bisa mengabulkan permintaanmu. Mobil-mobilan, boneka, baju, gasing kayu, miniatur kereta api, helikopter remote control, atau gadget terbaru pasti tak semuanya bisa ayah penuhi. Salahkan saja ayah, tak apa. Asal jangan meminta pada orang lain, pedih hati ayah.

Nak, ayah tidak akan menjadi ayah nomor satu di dunia, tapi ayah akan berusaha memberimu yang terbaik. Satu pinta ayah, bersabarlah...

Nak, maafkan ayah telah memberimu contoh yang tak baik, bahkan sebelum kamu lahir. Ayah tak mampu melarangmu berbuat demikian. Ayah tahu, ayah dahulu tidak menjadi anak yang teladan, belum juga bisa menjadi ayah yang bijak. Hal-hal seperti itu yang menakuti ayah akan hakikat seorang laki-laki untuk menjadi kepala rumah tangga. Apa ayah bisa?

Nak, ayah hanya seorang yang egois, sombong dan penuh dendam. Dendam-dendam masa lalu yang masih saja membayangi ayah, yang ayah takutkan akan menular kepadamu suatu saat nanti.

Nak, kamu tak perlu mendapat bentakan agar mau menuruti perintah ayah, kamu tak perlu disabet dengan sapu lidi jika nakal. Ayah janji, karena kamu anak yang pintar, ayah yakin itu.

Nak, ayah janji akan selalu menemanimu. Dari pertama kamu membuka mata untuk dunia ini, mengajarkan bagaimana menapakkan kaki satu persatu dan terjatuh. Tak apa, kamu jatuh untuk bangkit lagi. Sama saat kamu belajar naik sepeda nanti. Ayah akan dorong sepedanya, kamu kayuh sekuat tenaga. Terjatuh tak apa, tapi bangkit lagi. Jadilah anak yang kuat, nak.

Nak, sewaktu pertama kali kamu memakai seragam sekolah, itu akan menjadi semacam peringatan bagi ayah bahwa kamu mulai tumbuh besar. Ayah tak akan selalu ada di sampingmu. Ayah tak perlu menunggumu setiap hari di sekolah, ada teman-teman yang setia di luar sana. Patuhi juga guru-gurumu, mereka pengganti ayah di sana. Meski pasti tabiatmu mulai berubah sedikit demi sedikit karena telah mulai bertemu banyak orang, tak apa, itu tandanya kamu belajar.

Hingga pada suatu hari, kamu tak membalas pesan dari ayah. Kamu pulang terlambat tapi tetap berkelit dengan alasan mengerjakan tugas sekolah, les dan sebagainya. Ayah tahu itu bukan sebenarnya, ayah juga pernah seumuranmu, nak.

Ayah juga harus menyadari, anak kesayangan ayah sudah menemukan tempat nyamannya selain di rumah. Ayah akan semakin sering melarangmu pergi, menginterogasimu setelah pulang, memarahimu jika terlambat jam malam, meski itu semua tak akan membuatmu gentar mencari jati diri di luar sana. Bukannya ayah tak setuju, ayah hanya selalu terpikirkan olehmu. Akhirnya, ayah tak harus menahanmu terus di sini, tapi rumah ini selalu terbuka untukmu kembali, nak.

Hingga tiba-tiba kamu membangkang perintah ayah. Ayah seharusnya tak perlu kaget. Hal sama yang lebih parah pernah ayah lakukan pada kakek nenekmu dulu. Tapi tetap saja ini akan menjadi titik balik bagimu untuk menjadi dewasa, dan bagi ayah untuk menyesali apa yang telah ayah lakukan dahulu. Kamu, saat itu, tak akan bisa mengerti perasaan orang tua yang dibantah anaknya. Mengisak tangis, bertanya dalam hati tentang apa yang salah sehingga anaknya berani sekasar itu pada dirinya. Apakah ini semua balasan dari kelakuan ayah dulu terhadap kakek nenekmu? Kamu tak akan paham sampai titik itu. Yang kamu pikirkan hanyalah bagaimana melampiaskan egomu saat itu juga, sama seperti ayah sekarang.

Nak, hidup tak pernah menjadi lebih mudah. Mungkin ketika kamu kecil, kamu akan berpikir jika menjadi orang dewasa itu enak karena bisa membeli mainan apapun yang disukainya. Tapi orang dewasa tak butuh mainan seperti yang kamu mau. Mereka punya hal yang lebih penting untuk diperjuangkan. Seperti yang ayah bilang tadi, tumpuan kasih sayang dan tanggung jawab, kamu.

Satu lagi pesan ayah untukmu nanti, sayangilah ibumu. Sayangi ibumu yang dulu sering ayah sakiti. Kamu tahu, ibumu nanti pastilah seorang perempuan yang tegar, yang mampu hidup bersandingkan ayah di sampingnya.

Nak, jangan jadi orang yang tak bisa menghargai orang lain. Jangan jadi pengecut seperti ayah. Jangan jadi orang yang egois, sombong dan penuh dendam seperti ayah. Kamu anak pintar, pasti lebih tahu bagaimana menjalani hidup daripada ayah.

Salam sayang,

Ayahmu

Senin, 17 Februari 2014

Ketika atom-atom bersatu

Ini bukan tentang berapa minimal gajiku saat memutuskan untuk menikah kelak. Tapi bagaimana aku dan istriku nanti membangun keluarga kami dari nol. Aku tak ingin karena masing-masing dari kami sudah membawa kekayaan sendiri-sendiri maka kami menjadi saling egois. Aku tak ingin istriku merasa tak memerlukanku karena sudah punya pekerjaan mapan sendiri, begitu juga sebaliknya. Dan jika semua itu terjadi, perpisahan ada di depan mata. Itu tak ubahnya pasangan yang sekedar pacaran...

Aku ingin kami merangkak bersama dari ketiadaan. Jerih payah, pahit dan bahagia dalam membangun keluarga akan semakin membuat kami merasa dekat. Ketika istriku putus asa pada hubungan kami, aku ingin dia mengingat segala usaha kami dulu dan berpikir dua kali untuk mengambil keputusan yang gegabah, begitu juga sebaliknya aku. Tapi bukan berarti aku akan menggantungkan diri kepadanya. Aku tetap imam, kepala rumah tangga dan pencari nafkah. Istriku kelak tetap sebagai semangat, keluargaku sebagai tujuannya.

Aku tak ingin salah satu di antara kami merasa paling bisa tanpa yang lainnya. Aku adalah dia, dia adalah aku, kami adalah atom-atom yang bersatu.

Pernah aku bertanya pada seorang teman seperti tadi; 'Menurutmu berapa minimal gaji yang cocok untuk mulai menikah?'. Dia hanya menjawab 'Menikah saja dulu, setelah itu pintu rejeki akan terbuka. Lagipula, apa kamu mau menikah sendiri? Kan ada istrimu...'. Pernyataan yang biasa saja, namun menjadi luar biasa ketika yang menjawab itu adalah temanku yang anak dari pasangan pengusaha kaya.

Aku berharap hitungan angka yang keluar dari bibirnya, tapi ternyata malah sebuah nasehat menusuk. Dia lebih suka tinggal di kontrakan dan naik motor hasil tabungannya sendiri, padahal ditawari rumah dan mobil oleh bapaknya. Dia bilang jika dia tak ingin dilihat oleh perempuan dari materinya. Dia yang sering bercerita tentang susah payah bapaknya meraih semua ini berawal dari berjualan bensin eceran.

Lain lagi cerita tentang teman ibuku. Dulu dia hanya seorang supir dan karyawan di toko sembako. Pernah suatu ketika diminta oleh pacarnya untuk keluar dari pekerjaan itu, entah karena malu atau dirasa tak menjanjikan. Dia tak mau dan si pacar meninggalkannya. Berbagai pekerjaan sambilan pun pernah dilakoninya, termasuk menjadi tukang ojek. Kini dia mempunyai seorang istri yang sangat menyayanginya. Istrinya, seorang sarjana, dulu sering menemaninya menjaga toko. Istrinya, tak malu menikah degannya yang bahkan tak diketahui riwayat pendidikannya. Sebagian besar keluarganya tak menyetujui hubungan mereka, tentu saja. Terlebih karena istrinya itu anak tunggal.

Tapi kalian tak akan percaya jika melihat toko dan usaha rental mobilnya sekarang. Itu juga tanpa modal apapun kecuali ilmu dagang yang dia dapatkan dulu dan menghutang banyak. Rumah, tanah, dan beberapa mobil adalah bukti kesuksesannya. Belum lagi beberapa burung yang kalau dihitung hampir seharga mobil. 2 anaknya masih kecil-kecil, cerdas dan mainannya laptop atau tablet, bukan layangan sepertiku dulu.

Itu 10 tahun yang lalu. Waktu yang sangat singkat untuk membalas penolakan dengan kesuksesan luar biasa. Aku hanya sedikit tahu tentang bagaimana sakitnya ditolak karena materi dan pendidikan, orang itu mungkin mengalami lebih.

Kalian tahu bagian paling indah dari semua ini? Rasa saling menghargai dalam keluarga. Karena mereka tahu, tak mudah untuk mendapatkan sesuatu. Semakin mudah didapatkan, semakin mudah pula hilangnya.

Mencari pasangan hidup itu tidak sama dengan mencari pacar. Kamu tak harus mencari yang terbaik, tapi menciptakan kebaikan.

Minggu, 03 Februari 2013

Sarah.

Masih dengan soundtrack yang sama, gue mencoba untuk mengingat kembali kejadian hari ini.

Siang tadi, di perjalanan pulang setelah kondangan ada kecelakaan. Melihat 2 mobil ambulans, gue yakin kalau itu kecelakaan yang cukup parah.

Singkat cerita, gue berhenti di pinggir jalan, tanya sama orang-orang, lalu ikut melihat korban kecelakaan tadi dari dekat. Bukan, gue bukan mau ngeribetin atau bikin jalanan tambah macet. Gue cuma mau memastikan apakah gue kenal dengan si korban atau tidak.

Berhubung tidak ada korban yang gue kenal, daripada bikin ribet, gue pun melanjutkan perjalanan pulang.

Belum jauh dari TKP, suara sirine mulai terdengar. Gue sudah menyalakan lampu sein kiri, dengan harapan kendaraan di belakang gue sadar kalau kami seharusnya menyingkir untuk memberi sedikit ruang agar ambulans tersebut bisa lewat.

Hasilnya? Nihil.

Dengan susah payah, akhirnya ambulans tadi berhasil mendahului gue. Tapi ternyata, kendaraan di depan gue pun masih tetap dengan posisinya (tidak mau menepi/memperlambat kendaraannya).

Hey, apa perlu semua mobil ambulans diganti truk gandeng, agar pengguna jalan lainnya mau minggir?

Apa perlu si pasien yang tubuhnya dipenuhi darah ditaruh di atap ambulans, agar pengguna jalan lainnya tahu betapa parah kondisinya?

Ah, semahal itukah kepedulian kalian?

Sesampainya di rumah, gue langsung tidur. Di tengah mimpi indah, adik gue, si Jenong, merengek minta diantar renang.

Btw, sekarang di Parung Panjang ada kolam renang yang dibuka untuk umum, di depan PERUM I tepatnya. Sederhana & jauh dari kesan mewah memang, tapi itu sudah cukup untuk membuat si Jenong anteng bermain air selama 2 jam.

Gue yang masih ngantuk, akhirnya cuma duduk sambil merokok di salah satu sudut kolam renang tersebut. Tenang, adik gue yang berumur 7 tahun ini terlalu pintar untuk bisa dilepas begitu saja di sana. Dia sudah tahu mana area yang boleh dia acak-acak & mana area yang tidak boleh didatangi.

Mungkin cuma gue yang melamun karena meratapi nasib, karena di sana banyak orang, lebih tepatnya banyak anak kecil. Anak kecil yang sedang belajar berenang, atau hanya bermain air. Entahlah.

Btw, hey, bisa membayangkan bagaimana lucunya anak-anak kecil yang sedang belajar berenang? ^^

Akhirnya lamunan gue dikejutkan oleh seorang anak kecil. Lucu & cantik dengan pakaian renang lengkap + kacamatanya, dia memulai pembicaraan;

S: Sarah.
G: Gue.

S: "Itu awannya bentuknya apa?"

G: "Eh? Aku gak tahu, kamu tahu?"

S: "Itu gajah. Bisa lihat gak?'

G: *Mulai risih* "Nggak."

S: "Itu loooh, ituuu! Payah, ah."

G: "Et. Nggak lihat.. Oy, kenalan dulu dong, aku Wenk, nama kamu siapa?"

S: "Kok namanya aneh sih. Nama aku Sarah. Bagus kan nama aku?"

Gue: *Dih! Songong nih bocah* "Iya, bagus. Rumah kamu di mana? Terus ke sini sama siapa?"

S: "Sssttt, diem yah. Aku tuh sebenarnya gak suka tinggal di sini, rumah aku banyak tikusnya."

G: "Hahaha. Emang sebelumnya tinggal di mana?"

S: "Jakarta".

G: "Oh. Kok pindah ke Parung?"

S: "Itu...... Aku ikut mama. Mama kan udah pisah sama papa."

Selanjutnya, gue tahu siapa yang sedang gue ajak bicara. Seorang anak umur 8 tahun, kelas 3 SD, dan dia hidup bersama mamanya yang sudah berpisah dengan papanya.

G: "Oy, kamu punya kakak/adik?"

S: "Punya, 2."

G: "Mana? Ikut ke sini gak? Cewek apa cowok?"

S: "Cewek semua. Aku benci sama cowok."

G: "Lah, kok gitu?"

S: "Soalnya cowok suka mukul..."

Sekali lagi, anak ini berumur 8 tahun, dan kayaknya gue tahu siapa yang dia bilang/maksud suka mukul. Mungkin, dia mengganti sebutan papa dengan cowok. Mungkin.

Kalau emang benar papanya, gue pribadi sih pengennya dia bilang, "Soalnya papa suka mukul...". Bukannya apa-apa, gue cuma gak mau nih bocah menyamakan papanya yang (mungkin) brengsek dengan cowok lainnya.

Kenapa gue bilang brengsek?

Hei, sebutan apa lagi yang pantas disandang oleh suami yang memukul istrinya, sampai membuat 'cacat' hati anaknya? Sampai sang anak perempuan benci dan gak mau punya adik cowok?

Gue sih cuma mendengar sambil beberapa kali nyeletuk ketika dia kehabisan kata-kata. Ah, seorang anak gadis, yang usianya hanya setahun lebih tua dari si Jenong, dengan santainya membicarakan semua itu ke gue, orang yang baru ditemuinya. Absurd? Iya.

Mungkin, setelah emak & babeh gue, orang terkuat di dunia ini adalah mereka yang harus menerima kenyataan, yang di mana dia sendiri belum sanggup untuk menopangnya. Termasuk, Sarah.

G: "Hei, om kan cowok. Kamu gak benci?"

S: "Benci, kok. Tadi kan aku cuma pengen nanya bentuk awan yang itu." *Nunjuk ke langit sambil berlalu pergi."

*Kampret* -_________-'

Jumat, 18 Januari 2013

Balada si Penjual Bakso Keliling

Love can be any reason to do something unusual. Like what I've done, like what I'm doing.

Dulu, pertama kali nyoba dagang gara-gara cewek. Nerusin kuliah (lagi) juga gara-gara cewek. Gara-gara cewek juga, gue terjerumus di bisnis keripik kentang. Entah ini karena gue orangnya moody, atau gak bisa lihat gebetan lebih sukses. Yang jelas gue selalu berpikiran, "Hey, dia cewek dan karirnya lebih lancar dari gue. Kenapa gue gak bisa?".

Beberapa hari ini gue gak kuliah. Gue gak bisa asyik kuliah, sementara warga Jakarta lainnya kesusahan karena banjir. Sorry, gue gak sejahat dan setega itu.

Gue yang bosan mau ngapain di rumah, akhirnya iseng bantu usaha orang tua. Yah, jadi pedagang sembako. Jenis usaha yang dulu gue hindari banget karena sebab-sebab masa kecil. Tapi setelah sekian lama tumbuh besar bersama usaha itu, gue jadi tahu kalau berdagang itu cara paling gampang untuk mendapatkan banyak uang, yang halal tentunya.

Gue mangkal di salah satu warung yang ada di komplek pasar Parung Panjang. Karya Makmur, namanya. Warung yang menjual berbagai macam rokok, sembako, dll dsb dst. Warung dengan jenis barang yang dijual, tidak kalah dengan indomaret/alfamart.

Kalau seminggu ke depan gue masih mangkal di sini, gue mau pasang WiFi biar makin betah. Gue sedang tidak bercanda, saudara-saudara.

Walaupun dengan tatapan kosong, gue bisa tahu ada sesuatu yang aneh di toko ini. Bukan, bukan sejumlah pegawai baru yang mukanya asing, bukan semrawutnya barang yang berserakan, bukan juga tikus seksi yang bentuknya hampir sama kayak kucing dewasa.

Tapi pandangan gue terpaku pada seorang wanita berumur +/- 45 tahun. Tenang, gue masih suka brondong kok.

Gue: "Ibu mau beli apa?"

Doi: "Ga beli apa-apa, kok."

Gue: "Nyari alamat/orang, mungkin?"

Doi: "Ga, kok."

Gue: "Pasti mau ngerampok? Ngaku!"

Doi: "Aisia!"

Gue: "Atuhlah terus ibu mau ngapain ke sini?"

Doi: "Ng...anu, mas.. Saya mau nyicil biaya umroh."

*hening*

Gue sih tahu kalau si emak punya usaha travel umroh, yang gue gak tahu itu cara pembayarannya bisa dicicil kayak panci kreditan. -___-

Gue: "Itu seriusan bisa dicicil gitu?"

Emak: "Iya, malah kadang-kadang gue nombokin."

Gue: "Etdah."

Emak: "Ga apa-apa, sekalian usaha, sekalian nyari pahala. Hehehehe."

Gue: "........." "Ada brosurnya?"

Emak: "Ga ada. Yang pergi kan langganan toko doang, paling dari mulut ke mulut."

Gue: "Yauda, aku bikinin."

Emak: "Tumben."

Gue: "-_____-"

Gue yang gak tahu harus ngomong apalagi, akhirnya dengan darah muda membara yang dicampur insting turunan pedagang dari orang tua, dan dorongan cinta dari *****, gue bikin juga selebarannya. Tadi sempet mikir, dulu gue ngeremehin dan cuekin orang yang suka nyebarin brosur, tapi sekarang kebalik. :|

Karena cuaca tidak mendukung, gue hanya sempat membagikan beberapa brosur. Tapi orang yang punya insting bisnis, tak akan menyerah begitu saja. Sorenya, gue nyegat Kang Bakso Keliling yang biasanya lewat depan rumah. Diam, gue sedang tidak bercanda.

Gue: "Kang, sini bentar deh."

Kang Bakso: "Iya, Mas?"

Gue: "Kalau jualan sampe sana ga (nyebutin daerah-daerah yang ada di peta Parung Panjang)?

Kang Bakso: "Ya iya, Mas."

Gue: "Mau saya kasih tambahan penghasilan ga? Sebarin brosur."

Kang Bakso: "Yauda. Mana, Mas?"

Gue: "Bentar ya, saya ambil dulu."

Apakah memang semudah ini membujuk seorang Kang Bakso Keliling buat nyebarin brosur? Gue sih rada khawatir, soalnya ini lebih terlihat seperti transaksi narkoba dengan modus baru via Kang Bakso Keliling. Tinggal nunggu aparat berbaju preman muncul tiba-tiba dari got depan rumah dan dengan sigapnya menangkap kami berdua doang sih ini mah. --"

Anyway, gue serahin deh tuh setumpuk brosur warna merah ke si Kang Bakso, dan doi sempat menolak halus ketika gue kasih uang. Duh.

Kang Bakso: "Emang ini brosur apaan sih, Mas?"

Gue: (Tuh kan dia mulai curiga) "Travel umroh, Kang."

Iya, gue tahu kalau menitipkan brosur travel umroh ke seorang Kang Bakso Keliling itu emang absurd banget, tapi lo semua harus tahu esensinya.

Nih ya gue kasih tahu, Kang Bakso itu selalu dekat dengan ibu-ibu, dan lo semua juga pasti tahu kalau 90% para suami di Indonesia itu SUSUTAI (SUami-SUami TAkut Istri). Jadi ya siap-siap aja tuh para suami didemo oleh para istri yang kepengen banget pergi umroh. Mengagumkan bukan, cara berpikir seorang pemuda yang kelebihan hormon cinta? ^^

Ah. Mungkin jika suatu saat nanti gue jadi orang sukses, itu juga pasti gara-gara istri gue.

Senin, 07 Januari 2013

Seonggok Bangkai Kambing.

Tadi pagi gue melihat tumpukan sampah jatuh di pinggir jalan raya Parung Panjang.

Oke, bukan tumpukan sampah. Setelah mendekat, ternyata itu bangkai kambing yang hancur terlindas kendaraan berat. Rahangnya masih terlihat, giginya mencuat, usus-ususnya terburai di jalanan, warna bulunya coklat hitam. Kondisi jalanan sudah ramai orang dan kendaraan, tapi tidak ada yang peduli sama bangkai itu. Itu jelas bangkai kambing yang mati beberapa jam lalu sebelum subuh dan tidak ada orang yang peduli.

Hampir tiap hari gue naik motor bolak balik Parung-Jakarta. Sepanjang jalan selalu dekat dengan kendaraan berat, sepanjang jalan selalu dekat dengan kematian. Lagi membayangkan saja, besok mati gue juga terlindas truk, hancur, diacuhkan orang-orang sekitar kayak anjing tadi ga ya (?)

Kalau dulu, setelah pulang kuliah selalu pengen nongkrong. Seiring berjalannya waktu, gue cuma pengen pulang selamet saja sampai rumah. Ketemu emak & babeh, sudah itu saja.

Salah satu hal yang gue takuti itu mati tanpa ada yang tahu. Tanpa ada yang tahu gue mati atau ngga, tanpa ada yang tahu gue pernah hidup atau ngga. Makanya gue selalu bawa dompet (yang di dalamnya ada secarik kertas no. Telp orang terdekat) dan HP, buat jaga-jaga kalau ada sesuatu di jalan. Ya walaupun dompetku setipis dadamu, at least kalau mati hancur, masih ada yang tahu nama gue, hubungi nomer rumah, dan orang rumah tahu kalau gue sudah mati.

Makanya gue sering dan akan terus ngoceh di Twitter, Facebook, blog, dll dsb dst. Itu gue lakukan agar semua orang tahu gue berpikir dan pernah hidup. Berpikir, kemudian menulisnya. Tulisan apa saja, tentang ketuhanan, pengalaman, curhatan, dll dsb dst.

Cogito ergo sum. Aku berpikir, maka aku ada.